Oleh: Agustinus Tetiro
“Bank-nya Orang NTT”
Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Emanuel Melkiades Laka Lena melantik direktur utama dan sejumlah direksi serta komisaris Bank Pembangunan Daerah (BPD) NTT (Bank NTT) pekan lalu (Kamis, 13/11/2025). Ada tiga pesan utama dalam sambutan Gubernur Melki sebagai pemegang saham pengendali.
Pertama, transformasi dari atas hingga ke level bawah. Itu artinya perubahan positif harus substansial mulai dari dari pucuk pimpinan hingga pegawai harian. Kedua, Bank NTT harus menyokong dan mendukung penuh program-program pemberdayaan masyarakat dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi (Pemprov), hingga Pemerintah Kabupaten/Kota (Pemkab/Pemkot). Ketiga, pimpinan dan segenap pengurus Bank NTT harus menggedor rasa memiliki (sense of belonging) warga NTT terhadap Bank NTT sebagai “Bank-nya Orang NTT”.
Seperti menanggapi instruksi Gubernur Laka Lena, Direktur Utama Bank NTT Charlie Paulus langsung memberikan sejumlah pernyataan di hadapan para awak media. Pertama, pimpinan Bank NTT akan membentuk gugus kerja/gugus tugas (task force) untuk mengatasi kredit bermasalah (non-performing loans/NPL) yang memang selama ini telah menjadi masalah utama Bank NTT.
Kedua, mengukur efisiensi operasional perbankan dengan memperhatikan BOPO (Beban Operasional Pendapatan Operasional). Identifikasi terhadap pos-pos yang boros akan dilakukan untuk segera diperbaiki demi meningkatkan profitabilitas bank dengan mengoptimalkan biaya operasional.
Ketiga, akan menggelar customers gathering di setiap kabupaten dan kota: bertemu dengan para pengusaha. Kredit-kredit konsumtif akan dievaluasi dan berganti ke kredit-kredit komersial yang lebih produktif. Pimpinan Bank NTT akan mengajak makin banyak warga NTT untuk menjadi nasabah Bank NTT.
Keempat, peningkatan standar mutu pelayanan yang harus bagus. “Pelayanan (Bank NTT) jangan jelek,” kata Charlie kepada para wartawan di Kupang, belum lama ini.
Kelima, profit center akan difokuskan pada fungsi dan peran Direktur Treasury dan Keuangan yang saat ini diemban oleh seorang bankir senior dan berpengalaman Heru Helbianto.
“Ada sumber pendanaan baru dari treasury. Direktur Treasury kita orang dari Jakarta, bankir senior yang tahu cara-cara dan bertanggung jawab atas pengelolaan likuiditas dan portofolio investasi bank,” tegas Charlie.
Keenam, pimpinan Bank NTT akan segera menyelesaikan keluhan sebaran karyawan yang tidak seimbang dan non-produktif. Ada indikasi awal bahwa terjadi penumpukan pada bagian administrasi dan operasional yang mencapai 80 persen. Sisanya hanya 20 persen karyawan yang bergerak di lini bisnis dan perkreditan.
Charlie menjanjikan adanya pelatihan agar makin banyak yang bergerak di bisnis dan perkreditan. Idealnya, menurut Charlie, mesti ada 80 persen pegawai Bank NTT yang aktif di lini bisnis dan perkreditan. “Cukup 20 persen di operasional dan administrasi, karena hal-hal itu sudah banyak dibantu oleh teknologi,” imbuhnya.
Memperkuat Rasa Memiliki Bank NTT
Dari instruksi Gubernur NTT dan pernyataan Dirut Bank NTT yang telah kita perlihatkan di atas, tampak jelas adanya semangat dan niat baik untuk memperkuat rasa memiliki Bank NTT. Idealnya, semua orang NTT, baik yang tinggal di NTT maupun yang berada di luar Flobamora, menjadi nasabah Bank NTT dan aktif bertransaksi di bank daerah kebangaan kita ini.
Ada sejumlah hal yang kiranya bisa menjadi catatan bagi kita semua untuk menggugah rasa memiliki (sense of belonging) Bank NTT. Pertama, secara eksternal, mengasah rasa memiliki bisa tumbuh dari kebanggaan melihat kinerja Bank NTT yang harus semakin atraktif dan prospektif di mata publik.
Manajemen Bank NTT harus bisa meyakinkan masyarakat, aparatur sipil negara (ASN) di NTT, pekerja sektor swasta dan pengusaha lokal di daerah untuk nyaman bertransaksi di Bank NTT.
Hal ini bisa dilakukan dengan memperhatikan pelayanan di bank, di ATM dan di tempat-tempat lain hingga pada pertanggungjawaban kinerja keuangan yang dilakukan secara berkala, seperti kenaikan nilai dan jumlah penyaluran fasilitas kredit, dana pihak ketiga (DPK), pendapatan dan laba bersih, dan lain-lain.
Kedua, secara internal, pegawai Bank NTT harus bekerja profesional sebagai pelayan di sektor keuangan dengan menerapkan reward and punishment yang terukur. Tidak boleh ada pilih kasih dan balas dendam. Kepada pegawai yang bekerja melampaui target diberikan apresiasi yang wajar. Kepada mereka yang terbukti melanggar dan bersalah, hukuman mesti ditegakkan.
Ketiga, Bank NTT mesti membangun citra yang positif dan impresif di tengah perkembangan teknologi di sektor keuangan yang amat pesat saat ini. Pelayanan di sektor digital tidak boleh kalah dari bank-bank pelat merah dan bank-bank swasta yang beroperasi di NTT. Perkembangan teknologi harus dihadapi. Oleh karena itu, investasi pada teknologi perbankan adalah sebuah keharusan.
Tidak boleh ada lagi keluhan bahwa orang di luar NTT tidak bisa membuka rekening dari jarak jauh melalui aplikasi teknologis. Tidak boleh ada lagi errors pada aplikasi milik Bank NTT. Dan, keluhan-keluhan lain yang sejenis.
Citra baik Bank NTT juga bisa dibangun dengan membiasakan diri ramah terhadap media massa dan media sosial yang dibangun melalui akun resmi (official accounts) milik Bank NTT. Jika di atas Dirut Charlie mengatakan akan rutin melakukan customers gatherings, maka tidak salahnya juga bahwa secara regular perlu ada media gatherings bagi para wartawan sambil membekali mereka dengan pelatihan-pelatihan pemberitaan ekonomi-bisnis yang sebenarnya agak unik dibandingkan dengan jenis pemberitaan lain seperti politik, hukum dan sosial-kemasyarakatan.
Meniru BRI, Berguru pada BCA
Gubernur NTT selalu berharap dan optimistis bahwa Bank NTT menjadi jantung dan motor untuk kegiatan ekonomi dan pembangunan NTT, terutama untuk mendukung program prioritas satu kampung satu produk (One Village One Product/OVOP) dengan segala variannya. Tugas kita sebagai publik tentu saja memastikan instruksi gubernur dan rencana kerja dewan direksi bisa berjalan dengan baik.
Dari perspektif etika perbankan, penyaluran fasilitas kredit kepada semua pihak secara adil adalah alat dan sarana untuk pemerataan ekonomi (Bdk. Sonny Keraf, 2021: 290-308). Peran bank sebagai agen pembangunan yang mendistribusikan keadilan ekonomi mesti memperhatikan sejumlah hal. Pertama, pelayanan keuangan yang inklusif dan optimalisasi penggunaan sarana teknologi informasi. Kedua, peran konvensional bank perlu ditingkatkan terutama kepada warga pedesaan yang belum melek sektor keuangan dan investasi. Ketiga, prinsip keadilan dan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran kredit menjadi keharusan. Keempat, mendukung penuh kebijakan pemerintah yang pro-rakyat.
Sampai pada titik ini yang kiranya memang masih sangat awal, saya ingat nasihat seorang investor di pasar saham: following the masters (mengikuti gerak para suhu). Menurut saya, untuk beberapa bulan ke depan, Bank NTT perlu belajar banyak dari Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Bank Central Asia (BCA). Bukan pada hal-hal yang istimewa, tetapi pada hal-hal mendasar.
Dari BRI, kita bisa belajar tentang daya jelajah dan ekspansinya ke akar rumput, masuk hingga ke dusun-dusun melalui agen dan jaringannya. Jangan sampai orang-orang kampung di pedalaman Sumba, Flores dan Timor lebih mengenal layanan kredit mikro BRI daripada layanan kredit Bank NTT. Itu pelanggaran berat!
Sementara itu, dari BCA, hal mendasar yang perlu kita pelajari adalah keramahan pelayanan yang mulai terasa sejak dari pintu gerbang hingga saat kita meninggalkan bank. Di BCA, kita melihat satpam penuh senyum, ramah dan sangat membantu. Di BCA, kita melihat para pegawainya melayani nasabah seperti ratu dan raja.
Saya yakin, para pegawai Bank NTT bisa seramah dan penuh senyum dalam pelayanan sekaligus juga militan dalam ekspansi usaha masuk dari rumah-ke-rumah warga untuk menunjukkan dedikasinya bagi pembangunan NTT. Ayo Bangun Bank NTT!
Penulis adalah Dosen Etika Bisnis dan Profesi di FEB Unika Atma Jaya Jakarta
