Antara Tradisi dan Regulasi: “Moke” dalam Perspektif Adat dan Hukum di NTT
PAPILLONNEWS.CO - Minuman tradisional khas Nusa Tenggara Timur (NTT) yang dikenal dengan sebutan moke kembali menjadi sorotan publik. Hal ini menyusul pernyataan Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) NTT, yang menegaskan bahwa meskipun moke merupakan bagian dari tradisi adat, secara hukum minuman beralkohol tetap dikategorikan sebagai minuman tidak halal dan perlu dikendalikan peredarannya.
Dalam berbagai kesempatan, moke hasil penyulingan nira lontar atau enau telah menjadi bagian penting dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat NTT.
Ia hadir dalam upacara adat, pesta panen, pernikahan, maupun prosesi rekonsiliasi antarwarga. Moke bukan sekadar minuman, melainkan simbol persaudaraan, penghormatan, dan keseimbangan dalam adat.
Namun di sisi lain, Kapolda NTT menekankan pentingnya masyarakat memahami aspek hukum dan kesehatan dari konsumsi minuman beralkohol.
Kami menghargai kearifan lokal dan tradisi masyarakat NTT. Tetapi perlu ditegaskan bahwa dari sisi hukum dan regulasi nasional, moke tetap termasuk dalam kategori minuman beralkohol yang perlu diatur penggunaannya.
Pernyataan ini memicu berbagai tanggapan dari kalangan tokoh adat, budayawan, dan akademisi. Mereka menilai perlu adanya kebijakan yang arif dan kontekstual, agar pelestarian tradisi tidak bertentangan dengan aturan negara.
Dalam pandangan Melchias Markus Mekeng sebagai salah satu tokoh nasional NTT, hukum seharusnya tidak dibuat untuk meniadakan nilai-nilai budaya masyarakat, tetapi untuk mengayomi dan menata kehidupan bersama berdasarkan asas keadilan sosial.
Lebih lanjut, anggota DPR/MPR RI, Melchias Markus Mekeng, mengingatkan bahwa semangat hukum mestinya berpijak pada asas “vox populi suprema lex” suara rakyat adalah hukum tertinggi.
Artinya, kebijakan dan penegakan hukum harus berangkat dari nilai, aspirasi, dan kearifan yang hidup dalam masyarakat.
Dalam konteks NTT, moke merupakan ekspresi identitas dan solidaritas sosial yang telah melekat dalam kehidupan rakyat, sehingga perlu ditempatkan secara proporsional sebagai warisan budaya nonmaterial, bukan sekadar produk beralkohol yang dilarang.
Polda NTT harus membuka ruang dialog dengan tokoh adat, pemerintah daerah, dan lembaga kebudayaan untuk mencari jalan tengah.
Upaya ini diharapkan dapat melahirkan model regulasi yang menghormati nilai-nilai adat tanpa mengabaikan aspek hukum dan kesehatan masyarakat.
Sebagai warisan budaya, moke memiliki nilai simbolik dan spiritual yang tak ternilai. Namun sebagai minuman beralkohol, penggunaannya tetap memerlukan kesadaran, batasan, dan tanggung jawab bersama.
Diskursus ini menjadi momentum untuk menegaskan bahwa hukum dan kearifan lokal tidak harus saling meniadakan — keduanya dapat berjalan seiring demi menjaga martabat budaya serta kesejahteraan masyarakat NTT.
