Tanggapan Atas Tulisan Marsel Robot, Berjudul “Sssst … Kami Retret Lagi: Tak Ada yang ‘Hanya’ Bila dari Keringat Rakyat
Oleh: Yoseph Sanga Pureklolon
Alumni Undana, Warga Kota Kupang, anggota Forum Diskusi Beringin Center (FORBIC)
Sssst... nama itu akhirnya disebut juga.
Papa Novan—nama pena yang saya gunakan dalam tulisan-tulisan reflektif di ruang diskusi kecil bernama FORBIC: Forum Diskusi Beringin Center. Forum ini hanyalah ruang sederhana di mana beberapa warga Kota Kupang, mahasiswa, aktivis, dan pegiat muda berkumpul untuk berdialog tentang isu-isu publik tanpa embel politik. Kami menulis karena kami peduli, bukan karena kami dibayar. Kami berdiskusi karena kami ingin logika tetap hidup di tengah serbuan sentimen.
Maka, ketika nama “Papa Novan” disebut dalam tulisan Sssst... Kami Retret Lagi ((Baca : https://detakpasifik.com/sssst-kami-retret-lagi-tak-ada-yang-hanya-bila-dari-keringat-rakyat/) karya Marsel Robot, saya tersenyum kecil. Ternyata, di negeri ini, menulis untuk menjelaskan bisa dianggap sebagai membela kekuasaan. Diam disangka takut, menjawab disangka menjilat. Ironisnya, yang dulu mengajarkan kita tentang kebebasan berpikir, kini seperti marah ketika ada yang berpikir berbeda.
Saya bukan ASN, bukan buzzer, bukan pelindung kekuasaan. Saya hanya warga biasa Kota Kupang yang haus akan dialektika yang jernih, bukan serangan yang disamarkan dalam keindahan sastra. Bersama teman-teman di FORBIC, saya terbiasa berdiskusi tanpa curiga, berbeda pendapat tanpa perlu menuding. Karena bagi kami, kebebasan berpikir adalah hak, tapi kejujuran berpikir adalah tanggung jawab.
Tentang Serangan Personal dan Ruang Dialog yang Menyempit
Tulisan Marsel memulai serangannya dengan nada yang seolah lembut tapi sesungguhnya menggigit. Ia menulis dengan gaya yang puitis, namun menyalakan bara tuduhan personal. Saya tidak merasa perlu melindungi siapa pun—apalagi bersembunyi di bawah meja kekuasaan, seperti yang Anda tulis. Saya hanya mencoba merawat logika agar kritik tetap berdiri di atas nalar, bukan di atas kemarahan.
Namun di sinilah ironi itu terasa getir. Dalam tulisan Anda, kritik seolah kehilangan watak intelektualnya dan berubah menjadi dakwaan moral. Anda tidak sedang berdialog, tetapi sedang memvonis. Retorika Anda memang indah, tapi di balik keindahannya ada nada yang menolak perbedaan tafsir. Seolah-olah hanya ada dua kubu dalam dunia berpikir: yang “melawan” dan yang “menjilat”. Padahal, di antara keduanya, masih terbentang luas wilayah nalar yang mencari keadilan makna.
Anda menulis dengan kemarahan terhadap yang Anda anggap “buzzer”, tapi dengan itu justru Anda membangun pagar yang sama tinggi dengan tembok kekuasaan yang Anda kritik. Bukankah yang Anda lawan seharusnya bukan orangnya, tetapi cara berpikirnya? Bukankah intelektual sejati justru diuji ketika berhadapan dengan pandangan berbeda—bukan ketika mendapat tepuk tangan dari mereka yang sepaham?
Saya tidak menulis untuk melawan Anda. Saya menulis agar kritik tidak kehilangan arah spiritualnya: mencari kebenaran, bukan kemenangan. Karena kalau setiap suara yang mencoba memberi keseimbangan langsung diseret ke ruang curiga, maka publik kehilangan dialektika, dan yang tersisa hanyalah gema satu arah.
Tentang Buzzer dan Logika yang Berkeringat
Ah, buzzer — istilah yang kini dipakai lebih sering daripada kata “rakyat.” Marsel menyebut mereka sebagai palang pintu pemerintah dari dialektika. Tapi tidakkah itu justru pernyataan yang menutup dialektika baru? Bukankah setiap pendapat, termasuk pembelaan terhadap kebijakan, juga merupakan bagian dari diskusi publik?
Tidak semua klarifikasi adalah lipstik kuasa. Kadang, ia hanyalah upaya untuk menenangkan kegaduhan opini agar logika tetap mendapat ruang. Karena jika setiap penjelasan dianggap pembelaan, dan setiap pembelaan dianggap dosa, maka kita sedang membangun tirani intelektual yang tak kalah berbahaya dari tirani kekuasaan.
Tentang Ruang Diskusi dan Rasa Syukur
Marsel mungkin tidak sadar bahwa tulisannya justru telah dibaca dan dijawab. Bukankah itu pertanda baik bahwa ruang kebebasan masih hidup? Ia marah karena tulisannya ditanggapi, padahal tanggapan adalah napas dari dialektika. Jika retret menjadi topik perdebatan, artinya publik masih peduli pada proses introspeksi birokrasi. Bahwa rakyat masih menuntut agar pejabat belajar — bukan hanya bekerja.
Tentang Tempat, Arah, dan Kesunyian yang Lebih Dalam dari Ruang
Saya membaca bagian paling tajam dari tulisan Marsel: sindiran terhadap kalimat “retret bukan soal tempat, tapi soal arah.” Kalimat itu ia olok-olok dengan cemooh yang teaterikal — membandingkannya dengan sandal jepit di tangga kantor gubernur. Tapi, mari kita pelan-pelan menyingkap apa yang sebenarnya ia lewati.
Kesunyian, Marsel, bukanlah hadiah dari tempat, melainkan keputusan batin. Banyak orang hidup di biara, tapi pikirannya tetap gaduh. Banyak pula yang hidup di tengah pasar, tapi jiwanya damai. Sejarah spiritual manusia membuktikan itu: Yesus berdoa di padang gersang, bukan di kapel berhias lilin. Buddha mencapai pencerahan di bawah pohon di tepi jalan, bukan di kuil megah. Kierkegaard merenungi iman di tengah bisingnya Kopenhagen. Dan Thomas Merton—biarawan yang Anda sebut sebagai ikon retret modern—justru menemukan makna sunyi bukan karena ia jauh dari dunia, melainkan karena ia berani menatap dunia dengan mata yang baru.
Mari kita bicara logika, bukan hanya diksi. Jika retret semata ditentukan oleh tempat, maka apakah biarawan yang sedang membersihkan dapur tidak sedang berdoa? Apakah aparatur yang menata laporan sambil merenung tentang makna pelayanannya tidak sedang ber-retret dalam pekerjaannya?
Retret di Unhan bukanlah pelecehan terhadap sunyi, seperti Anda sangka, tetapi justru usaha untuk menanamkan kesunyian di tengah disiplin. Di sana, birokrat belajar bahwa kedisiplinan bukan musuh dari refleksi; ia justru pagar agar refleksi tidak terjebak menjadi lamunan.
Mengapa di Unhan? Karena simbol pertahanan bukan hanya tentang senjata, tapi tentang daya tahan batin—kemampuan menegakkan nilai dalam sistem yang keras. Anda boleh sinis terhadap suara komando, tapi pernahkah Anda membayangkan bahwa di sela hentakan kaki itu, seorang ASN belajar tentang keteraturan, keteguhan, dan kebersamaan? Nilai-nilai yang justru hilang di banyak birokrasi sipil yang terlalu longgar oleh kompromi?
Anda menulis dengan kalimat yang tajam, bahkan menyamakan saya dengan “ibu yang kesurupan di acara kenduri”. Itu metafora yang lucu, tapi menyesatkan. Karena di dalamnya, Anda menolak mendengarkan makna di balik kata. Retret bukanlah tentang “menghindar dari terminal bus”, melainkan menemukan kedamaian bahkan di terminal bus. Retret adalah latihan untuk menata arah batin di tengah kekacauan dunia—bukan pelarian ke gunung sunyi yang hampa dari persoalan.
Maka, ketika Anda bertanya sinis, “Jika retret soal arah, kenapa tidak di halte bus?”, izinkan saya menjawab dengan serius: justru karena arah itulah, retret bisa dilakukan di mana saja. Bahkan di halte bus. Bahkan di kantor gubernur. Bahkan di tengah komando Unhan. Asal arah hatinya benar.
Sunyi bukan tentang jauhnya jarak dari dunia, tapi tentang dekatnya kesadaran dengan Tuhan dan sesama. Dan jika suasana retret bisa tumbuh di tempat yang Anda anggap riuh, maka mungkin yang berubah bukan tempatnya—melainkan kedalaman kesadaran mereka yang ada di sana.
Marsel, Anda menulis dengan perasaan yang dalam, tapi logika Anda berhenti di permukaan simbol. Anda menolak Unhan karena mendengar suara komando, tapi mungkin lupa bahwa suara komando pun bisa menjadi doa ketika diteriakkan oleh orang yang sadar tujuan hidupnya. Retret di Unhan bukan pelatihan loyalitas, melainkan latihan untuk tidak menjadi abai. Karena loyalitas yang sejati bukan kepada orang, tetapi kepada nurani. Dan bukankah itu yang sedang dibutuhkan oleh negeri ini—birokrat yang berani setia pada nuraninya, bukan pada kepentingan politik?
Retret bukan tentang tempat yang menenangkan, tapi tentang hati yang ditenangkan.
Dan justru di situlah letak arah yang saya maksud: arah menuju kesadaran baru bahwa melayani adalah bentuk tertinggi dari pertahanan diri terhadap korupsi, kemalasan, dan sinisme publik. Jika Anda menilai arah itu terlalu teaterikal, biarlah. Karena hidup bernegara memang panggung tempat setiap orang memainkan perannya. Tapi izinkan saya memilih memainkan peran yang menata hati, bukan yang memprovokasi amarah.
Tentang Dana dan Prioritas
Saya tahu, angka Rp1,6 miliar itu memancing emosi. Tapi mari berpikir dengan keseimbangan, bukan kemarahan. Uang itu bukan pesta, bukan liburan pejabat, melainkan biaya pendidikan karakter. Apakah kita ingin pejabat yang terus bekerja tanpa jeda, tanpa refleksi, tanpa pembenahan hati? Bukankah justru dari pejabat yang gelisah lahir kebijakan yang peka?
Dan tidak, anggaran itu tidak mencuri dari air bersih atau pendidikan. APBD bukan satu wadah besar yang bisa diambil seenaknya. Ia sudah terbagi menurut fungsi dan pos. Retret pejabat adalah bagian dari belanja peningkatan kualitas sumber daya manusia—sebuah investasi batin yang hasilnya tak selalu terlihat langsung, tapi terasa dalam keputusan yang lebih bijak.
Tentang Paulo Freire yang Sering Disalahpahami
Saya tertawa kecil saat Anda menyebut Paulo Freire hanya untuk kaum tertindas. Bukankah yang tertindas itu bisa siapa saja, termasuk mereka yang terperangkap dalam sistem birokrasi yang menuntut tanpa memberi ruang berpikir? Pendidikan kritis bukan hanya untuk rakyat miskin, tetapi juga untuk para pengambil keputusan agar sadar posisi dan tanggung jawabnya.
Retret yang berinspirasi dari Freire justru hendak mengajak pejabat keluar dari kesadaran mekanis—dari rutinitas administratif menuju kesadaran reflektif. Di sana, mereka bertanya bukan “bagaimana cara menaikkan angka kinerja,” melainkan “apakah kebijakan ini sungguh menyentuh manusia?” Bukankah itu yang disebut pembebasan—bukan dari kemiskinan, tapi dari kesempitan pandang?
Tentang “HANYA” dan Nilai dari Sebuah Keringat
Anda benar, tak ada yang “hanya” bila dari keringat rakyat. Tapi izinkan juga saya menambahkan: tak ada yang “sia-sia” bila digunakan untuk mengabdi. Setiap rupiah yang mengalir ke program refleksi birokrat bukanlah alibi kemewahan, tapi bentuk tanggung jawab agar uang rakyat kelak dikelola dengan hati yang jernih.
Keringat rakyat tidak boleh jatuh percuma. Dan justru karena itulah, mereka yang memegang tanggung jawab atas keringat itu perlu belajar, merenung, menata diri. Retret bukan tempat bersembunyi dari realitas rakyat—ia adalah upaya jujur untuk menatap kembali diri di cermin yang kadang retak oleh kritik.
Penutup: Tentang Hening dan Harapan
Jadi, sssst... biarkan mereka retret sejenak. Bukan untuk menjauh dari rakyat, tapi untuk kembali dengan hati yang lebih sadar. Retret bukanlah pertunjukan moralitas, melainkan ruang perjumpaan antara pejabat dan dirinya sendiri — ruang yang sunyi dari mikrofon, tapi bising oleh bisikan hati.
Kita boleh berbeda pendapat tentang kebijakan, tapi jangan kehilangan kejujuran dalam membaca niat. Karena jika setiap langkah refleksi dianggap tipu daya, maka yang tersisa hanyalah kelelahan bangsa yang selalu mencurigai cahaya.
Sssst... Kami juga berpikir, Pak Marsel. Hanya saja, kami memilih berpikir dengan tenang. Karena kemarahan mungkin membakar, tapi kesadaranlah yang akhirnya menerangi. (*)