Opini
Oleh: Adv. Dionisius Sandi Tara, SH – calon advokat muda yang aktif mengamati isu hukum dan disiplin internal institusi publik, khususnya terkait transparansi, proporsionalitas, dan keadilan prosedural.
Sebagai calon advokat muda yang aktif mengamati perkembangan hukum di Indonesia, saya melihat keputusan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) terhadap Kompol Cosmas sarat kejanggalan. Fakta di lapangan tidak sejalan dengan tuduhan, sementara persidangan internal KKEP membuka celah besar bahwa prosedur hukum yang adil tampaknya tidak dijalankan.
Berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2003 tentang Kode Etik Profesi Polri, PTDH seharusnya diterapkan hanya untuk pelanggaran berat yang terbukti secara sah dan meyakinkan, dengan prosedur yang menjamin asas due process, termasuk hak pembelaan diri, transparansi bukti, dan sanksi proporsional.
Dalam kasus Cosmas, banyak pihak menilai prosedur ini tidak konsisten: bukti meringankan diabaikan, keterangan saksi sering bertentangan dengan dokumen resmi, dan sanksi terberat dijatuhkan sebelum ada kepastian lengkap mengenai tanggung jawabnya. Hal ini menimbulkan kesan bahwa PTDH bukan didasarkan pada mekanisme hukum yang sah, melainkan sebagai alat untuk menunjukkan ketegasan instansi.
Dari sisi hukum, keputusan ini juga berpotensi bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menekankan prinsip keadilan, proporsionalitas, dan perlindungan hak anggota Polri dalam mekanisme disiplin. PTDH seharusnya menjadi pilihan terakhir, sementara alternatif sanksi seperti penurunan pangkat, penundaan kenaikan pangkat, mutasi administratif, atau teguran tertulis lebih sesuai untuk kasus yang fakta-faktanya masih diperdebatkan. Penggunaan PTDH dalam konteks ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah keputusan ini legal secara prosedural, atau ada kepentingan lain yang mempengaruhi?
Reaksi publik pun keras. Petisi daring menolak PTDH Cosmas telah ditandatangani lebih dari 196.000 orang, menuntut Kapolri dan KKEP meninjau kembali keputusan ini. Media nasional seperti Metro TV News, Tabura Pos, Alinea, dan Harian Disway melaporkan persidangan dan kontroversi yang timbul, menyoroti ketidakpastian prosedural, ketimpangan sanksi, dan ketidakjelasan dasar hukum yang mendasari PTDH.
Bagi saya, kasus Cosmas adalah alarm keras. Jika Polri terus mengeksekusi ketegasan tanpa keadilan dan kepastian hukum, institusi ini bukan lagi penegak hukum yang dipercaya, tetapi lembaga yang menjaga citra sambil mengorbankan anggota yang dianggap “tidak nyaman.” Publik tidak butuh sandiwara ketegasan—mereka menuntut keadilan yang konsisten, proporsional, dan sesuai hukum.