Minuman Lokal "Moke atau Sopi" : Antara Warisan Budaya dan Tantangan Sosial

Oleh : ADOLFUS PARERA

Minuman lokal beralkohol merupakan bagian dari kekayaan budaya bangsa yang telah diwariskan secara turun-temurun di berbagai daerah di Indonesia. Sebut saja moke atau sopi di Nusa Tenggara Timur, arak di Bali, tuak di Sumatera, dan berbagai jenis minuman fermentasi tradisional lainnya. Keberadaannya tidak hanya berfungsi sebagai minuman, tetapi juga memiliki nilai sosial, budaya, dan spiritual yang melekat kuat dalam kehidupan masyarakat. Dalam berbagai upacara adat, pesta rakyat, hingga kegiatan keagamaan tertentu, minuman lokal beralkohol menjadi simbol kebersamaan, persaudaraan, dan penghormatan.

Namun demikian, dalam konteks hukum dan ketertiban masyarakat, minuman lokal beralkohol sering kali dipandang sebagai sumber permasalahan sosial. Tidak sedikit kasus kriminalitas, kekerasan dalam rumah tangga, kecelakaan lalu lintas, serta tindakan anarkis yang dikaitkan dengan konsumsi minuman beralkohol secara berlebihan. Pandangan inilah yang kemudian menjadi dasar bagi aparat penegak hukum untuk melakukan penindakan dan pemberantasan terhadap peredaran minuman lokal beralkohol, terutama yang diproduksi secara tradisional tanpa izin resmi.

Ironisnya, kebijakan pemberantasan tersebut kerap tidak disertai dengan pendekatan sosial dan ekonomi yang memadai. Padahal, di balik setiap botol minuman lokal yang diproduksi, terdapat jerih payah para petani dan pengrajin kecil yang menggantungkan hidupnya dari hasil penjualan produk tersebut. Banyak di antara mereka menggunakan penghasilan dari produksi minuman lokal untuk memenuhi kebutuhan keluarga, membiayai pendidikan anak-anak, serta menopang ekonomi rumah tangga di pedesaan. Ketika peredaran minuman ini diberantas tanpa solusi alternatif, maka yang menjadi korban bukan hanya tradisi, tetapi juga kesejahteraan masyarakat kecil.

Dalam situasi ini, peran pemerintah daerah dan lembaga DPR menjadi sangat penting. Perlu ada kebijakan yang bijak, komprehensif dan berkeadilan dalam mengatur produksi serta distribusi minuman lokal beralkohol. Pendekatan yang tepat bukanlah pelarangan total, melainkan regulasi dan pembinaan. Pemerintah dapat mengatur standar produksi, perizinan, dan pengawasan kualitas sehingga minuman lokal tersebut memiliki legalitas dan keamanan yang terjamin. Lebih dari itu, dengan inovasi dan promosi yang tepat, minuman tradisional bahkan berpotensi menjadi produk unggulan daerah yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan daya saing di pasar nasional maupun internasional.

Minuman lokal beralkohol sejatinya bukanlah sumber kejahatan, melainkan bagian dari jati diri dan kreativitas masyarakat. Yang perlu diberantas bukanlah tradisinya, tetapi penyalahgunaannya. Oleh karena itu, sinergi antara pemerintah, aparat penegak hukum, pelaku usaha lokal, tokoh agama, tokoh masyarakat/ tokoh adat menjadi kunci dalam menemukan titik keseimbangan antara pelestarian budaya dan penegakan hukum.

Pada akhirnya, keberadaan minuman lokal beralkohol harus dipandang secara lebih arif. Ia adalah simbol identitas, warisan budaya, sekaligus sumber penghidupan masyarakat kecil. Pemerintah dan DPR dituntut untuk tidak hanya menegakkan aturan, tetapi juga melindungi nilai budaya dan kesejahteraan rakyat yang bergantung padanya. Dengan pendekatan yang berkeadilan dan berpihak pada masyarakat, tradisi dapat tetap lestari, ekonomi rakyat dapat tumbuh, dan ketertiban sosial tetap terjaga.

Posting Komentar

Komentar Anda .....

Lebih baru Lebih lama
papillonnews

نموذج الاتصال